JANGAN sekali-kali berpikir bahwa orang yang sempurna adalah orang yang
mengenakan imamah terbaik dan pakaian mewah. Akan tetapi orang yang
sempurna adalah yang menjauhi maksiat, menekuni wirid-wirid, beramal
saleh, dan menuntut ilmu dengan penuh adab, karena ilmu akan menuntun
pemiliknya mencapai kemuliaan.
Abdullah bin Mubarak suatu hari
berkata, “Aku akan mengerjakan perbuatan yang akan membuatku mulia.” Ia
lalu menuntut ilmu hingga menjadi seorang yang alim. Waktu ia memasuki
kota Madinah, masyarakat berbondong-bondong menyambutnya hingga
hampir-hampir saja mereka saling bunuh karena berdesak-desakan. Ibu suri
raja yang kebetulan menyaksikan kejadian itu bertanya, “Siapakah orang
yang datang ke kota kita ini?”
“Ia adalah salah seorang ulama Islam,” jawab pelayannya.
Ia
kemudian berkata kepada anaknya, “Perhatikanlah, bagaimana masyarakat
berbondong-bondong mendatanginya. Raja yang satu ini tidak seperti kamu.
Kamu, jika menginginkan sesuatu, harus memerintah seseorang untuk
melakukannya. Tetapi, mereka mendatanginya dengan sukarela.”
Abdullah
sesungguhnya adalah anak seorang budak berkulit hitam bernama Mubarak.
Budak ini betisnya kecil, bibirnya tebal dan telapak kakinya
pecah-pecah. Walaupun demikian, ia adalah seorang yang sangat wara`.
Ke-wara’-annya ini akhirnya membuahkan anak yang saleh.
Mubarak bekerja sebagai penjaga kebun. Suatu hari tuannya datang ke kebun.
“Mubarak, petikkan aku anggur yang manis,” perintah tuannya.
Mubarak pergi sebentar lalu kembali membawa anggur dan menyerahkannya kepada tuannya.
“Mubarak, anggur ini masam rasanya, tolong carikan yang manis!” kata tuannya setelah memakan anggur itu.
Mubarak segera pergi, tak lama kemudian ia kembali dengan anggur lain. Anggur itu dimakan oleh tuannya.
“Bagaimana
kamu ini, aku suruh petik anggur yang manis, tapi lagi-lagi kamu
memberiku anggur masam, padahal kamu telah dua tahun tinggal di kebun
ini,” tegur tuannya dengan perasaan kesal.
“Tuanku, aku tidak
bisa membedakan anggur yang manis dengan yang masam, karena kamu
mempekerjakan aku di kebun ini hanya sebagai penjaga. Sejak tinggal di
sini aku belum pernah merasakan sebutir anggur pun, bagaimana mungkin
aku dapat membedakan yang manis dari yang masam?” jawabnya.
Tuannya tertegun mendengar jawaban Mubarak. Ia seakan-akan memikirkan sesuatu. Kemudian pulanglah ia ke rumah.
Pemilik kebun itu memiliki seorang anak gadis. Banyak pedagang kaya telah melamar anak gadisnya.
Sesampainya dirumah, ia berkata kepada istrinya, “Aku telah menemukan calon suami anak kita.”
“Siapa dia?” tanya istrinya.
“Mubarak, budak yang menjaga kebun.”
“Bagaimana
kamu ini?! Masa puteri kita hendak kamu nikahkan dengan seorang budak
hitam yang tebal bibirnya. Kalau pun kita rela, belum tentu anak kita
sudi menikah dengan budak itu.”
“Coba saja sampaikan maksudku ini kepadanya, aku lihat budak itu sangat wara’ dan takut kepada Allah.”
Kemudian
sang istri pergi menemui anak gadisnya, “Ayahmu akan menikahkanmu
dengan seorang budak bernama Mubarak. Aku datang untuk meminta
persetujuanmu.”
“Ibu, jika kalian berdua telah setuju, aku pun
setuju. Siapakah yang mampu memperhatikanku lebih tulus daripada kedua
orang tuaku? Lalu mengapa aku harus tidak setuju?”
Sang ayah yang
kaya raya itu kemudian menikahkan anak gadisnya dengan Mubarak. Dari
pernikahan ini, lahirlah Abdullah bin Mubarak.
Quthbul Irsyad Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam qosidah Ainiyah-nya memuji Ibnul Mubarak. (I:78)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar