Suatu hari, Syekh Abu al-Hasan as-Syadzili kedatangan seorang tamu, yang
kebetulan murid kerabatnya sendiri yang teramat miskin. Tamu ini memang
diutus gurunya untuk bersilaturahmi ke rumah Abu al-Hasan, tugasnya
adalah mendengarkan dan menyampaikan apa yang diucapkan oleh Sulthanul
Auliya Abu al-Hasan itu.
Ketika di depan rumah Abu al-Hasan, tamu
itu tercengang, karena melihat rumah Abu al-Hasan yang sangat mewah,
kuda yang elok dan perhiasan yang gemerlap bagai istana raja. Si tamu
berpikir, bagaimana mungkin seorang wali besar memiliki rumah dan
kekayaan yang teramat mewah? Kalau guruku yang miskin itu, mungkin wajar
saja. Tapi ini…
Syekh Abu al-Hasan pun keluar dan menemui tamunya.
Tiba-tiba beliau berkata, “Katakan ya pada gurumu, kapan ia berhenti
memikirkan dunia?”
Si tamu lantas pulang dengan penuh tidak mengerti,
bagaimana gurunya yang sufi miskin itu disebutnya masih memikirkan
dunia. Sedangkan Abu al-Hasan yang kaya raya itu malah mengatakan
sebaliknya, kapan gurunya berhenti memikirkan dunia.
Sampai di rumah gurunya ia ditanya, “Apa pesan Abu al-Hasan?”
“Tidak pesan apa-apa tuan guru.”
“Tidak, pasti ia punya pesan. Jangan kamu tutup-tutupi, katakan saja sejujurnya.”
“Aaanu…tuan guru…. Beliau hanya mengatakan, kapan tuan berhenti memikirkan dunia.”
“Benar.
Benar…Abu al-Hasan. Beliau benar. Walaupun kekayaannya melimpah seperti
konglomerat, tak satu pun harta itu menempel di hatinya. Sedangkan saya
yang miskin ini masih berharap kapan saya bisa kaya.”
Sang murid itu hanya manggut-manggut belaka, sambil meresapi kata-kata tadi.
semoga bermanfaat kisah diatas,,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar